The Upstairs

Friday, June 5, 2009


The Upstairs kembali hadir dengan penuh percaya diri. Kali dengan mini albumnya Kunobatkan Jadi Fantasi yang berisi enam track ampuh (track? bukankah itu istilah jaman piringan hitam dan CD!?) sepanjang total kurang lebih 28 menit yang disodorkan  secara free via internet. Selain kegratisannya, (sebenarnya kalau anda masih masih menganggap kegratisan sebagai keluarbiasaan, alangkah kunonya anda!!) ada beberapa hal yang membuat album ini menarik. Pertama, mini album ini semakin mengukuhkan The Upstairs sebagai band perwakilan kaum tereliminasi tanpa mesti bertingkah polah mencitrakan diri sebagai pemrotes sosial bermimik serius. Album ini menegaskan bahwa band ini bukanlah band guyonan belaka.  Ambillah lagu Dansa Akhir Pekan 2008  dan interpretasikan liriknya dengan cerdas. Sesungguhnyalah lagu ini amatlah ideologis dan tak bisa dianggap sekedar lagu danceable yang membuat kaki, tangan, dan seluruh badan bergoyang sekehendaknya. Simaklah lirik beberapa bait pembukanya

Enam hari Berseragam
Rambutku tlah mereka hancurkan
Namun esok akhir pekan
Menyita ragam cerita
Jelas Skali Ku Telah Diredam..

Jika anda adalah buruh, karyawan karyawati toko dengan gaji rendah, kakilima yang tak pernah tenang berjualan, pelajar yang belum boleh ini itu, PNS yang bukan termasuk golongan pejabat atau esselon, yang tiada hari tanpa dihardik dan diatur, siap-siaplah untuk meledak dan berdansa resah mendengar lagu ini. Musik dan liriknya adalah percik api yang meledakkan tabung gas kemarahan bersalut irama old wave (sudah sekira 30 tahun sejak The Police, A-ha, Alphaville dan Duran-Duran masih juga dibilang new wave?!) sungguh merepresentasi perasaan kaum tak terpilih, menyuarakan isi kalbu mereka yang kalah, pembenar segala perasaan kaum memble. Sebelumnya, sudah diketahui umum ideologi yang mereka percaya mengejawantah dalam penampilan yang tak berkesesuaian dengan tuntutan mainstream, musik yang tak mementingkan kerapihan menurut tata krama bermusik ‘yang baik dan benar’, bahkan tampang yang antitesis dengan segala yang dipersyaratkan dalam industri musik kapitalistik.

Hal kedua yang menarik adalah dua lagu lama dalam versi live masing-masing Terekam Tak Pernah Mati, serta Lompat (versi akustik. Pada Terekam…terdengar dialog Jimi Multhazam dengan audiens. Jimi meledek penonton yang berada di bagian atas (show di Hard Rock Café Jakarta 2006) dan mengatakan mereka sebagai “tua-tua”. Terdengar jelas riuh rendah tawa memenuhi gedung pertunjukan, tawa yang  begitu lepas sekalipun vokalis berambut kriting ini mengejek penonton (dengan santainya mengatakan: “ah peler lu semua!”) karena tak mampu melebihi keras suaranya. Ada interaksi emosi dua arah yang begitu hidup dan hangat terekam di sana yang menunjukkan betapa baiknya band ini menjaga kontak dengan audiens. yang membuat lagu ini tak membosankan kendati berulang-ulang didengarkan.Sementara itu, introduksi Jimi atas semua personil di tengah tengah lagu ini menjadi nilai lebih yang lain. Benarlah apa yang mereka sendiri kibarkan: ‘semua terekam tak pernah mati’. Lagu Televisi yang menempati urutan keempat melontarkan kritik terhadap kotak ajaib yang menghadirkan sinema elektronik, konflik keluarga  yang membuat orang menjadi malas melakukan hal-hal lainyang sebenarnya lebih bermanfaat. Sebuah sinisme pada modernitas yang justeru pada akhirnya membuat orang kehilangan harkat kemanusiaannya. Sementara musik lagu pembuka Kunobatkan Jadi Fantasi  yang sekaligus menjadi judul album menggiring ingatan pada musik latar Kung Fu, sebuah titel game Nintendo tahun 1990an. Aransemen para personil pada lagu ini sekaligus membuktikan bahwa mereka juga menyerap dan terbentuk pula oleh musik rock 60-70an ala The Doors dan The Rolling Stones. Riff gitarnya mengingatkan pada permainan Angous Young (AC/DC).  Tunggu apa lagi? download album ini lengkap dengan cover dan CD stikernya di situs www.yesnowave.com ! (manunggal)

0 comments: